Ahlan Wa sahlan di Catatan nir.. Semoga menginspirasi bagi yang menikmatinya ^_^ Salam embun

Rabu, 30 November 2011

Melahirkan Kembali Indonesia Raya ( dalam rinai diam)

Dalam diamku, mencoba berfikir dengan seksama kata kata yang  terukir indah dalam alunan syair karya : Prof. Dr. Winarno Surakhmad. (Mantan Rektor IKIP Jakarta) penuh makna dan sarat nilai moral. Mencoba merenung apa yang disampaikan my favorite lecturer, Mr. Machmud Ar Rasyid, sosok yang sangat peduli akan generasi bangsa yang dituntut untuk kritis, tidak menerima dengan "manut" istilah Jawa, harus mampu mengendalikan arah air mengalir bukan ikut air mengalir itu.. hmmmm.. Luar biasa ..Bangsa yang ingin maju, berdaulat, dan sejahtera membutuhkan karakter yang kuat dengan etos kerja yang tinggi, bekerja keras, cinta tanah air, nasionalis, cerdas, kreatif, kritis, inovatif, bertanggung jawab, adil, bijaksana. Bermental pemberani (Patriotik), tekun, berwawasan kebangsaan dan global. Visioner, mampu membuat pilihan dalam hidup. Rukun, ramah, saling menghargai. Jujur, sportif, dan tangguh. dan semua itu tak lepas dar peranan guru, Guru adalah pelita dalam kegelapan kita, guru sebagai tombak dalam menjadi generasi yang unggul dan berkualitas dalam membentuk karakter kewarganegaraan atau civic virtue, akan tetapi das sollen tidak sesuai dengan das Sein.. kita lihat NAsib guru kita.......... belum semua Sejahtera... :'(


Sebuah puisi karya : Prof. Dr. Winarno Surakhmad.
(Mantan Rektor IKIP Jakarta)
Di kelahirannya
Sampai kemarin,
Ketika semua babi rusa, komodo dan badak cula
hidup terlindung petaka dalam satu undang-undang,
guruku malang, sebagai malaikat yang tirakat,
hidup penuh hampa,
tanpa perlindungan sepenggal undang-undang.
Di dunianya
Tanpa sebuah kepalsuan,
semua guru meyakini, guru artinya ibadah.
Tanpa sebuah kemunafikan,
semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan.
Tapi dunianya ternyata tuli.
Setuli batu tak berhati.
Otonominya, kompetensinya, profesinya
hanya sepuhan pembungkus rasa getir.
Tatkala dunia tidak bersahabat
tidak mungkin menjadi guru yang guru.
Hingga ketika guru syuhada
tiada tempat di makam pahlawan.
Di hati kecilnya
Dengan sikap terbata-bata,
dengan suara tersendat-sendat,
dengan hati tersumbat darah,
guru bertanya dalam gumam,
mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?
Bolehkan kami bertanya,
apa artinya bertugas mulia,
ketika kami hanya terpinggirkan
tanpa ditanya, tanpa disapa?
Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi terburuk?
Kenapa, ketika orang menangis, kami harus tetap tertawa?
Kenapa, ketika orang kekenyangan, kami harus tetap kelaparan?
Bolehkah kami bermimpi
didengar ketika bicara,
dihargai layaknya manusia,
tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk.
Di batu nisannya
Di sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah,
terbaca torehan darah kering,
di sini berbaring seorang guru
semampu membaca buku usang
sambil belajar menahan lapar
hidup sebulan dengan gaji sehari.
Itulah nisan sejuta guru tua
yang terlupakan oleh sejarah.
Kematiannya tidak ditangisi.
Tiada bunga, tiada meriam.
Tiada doa, tiada in memoriam.
Tanpa bendera setengah tiang.
Sedetikpun sekolah tidak libur.
Hanya seorang guru berlalu.
Seorang guru tua dari sejuta pelaku sejarah.
Di mata bangsanya
Bangkitlah… bangkitlah guruku!
Kehadiranmu tidak tergantikan.
Biarkan dunia ini menjadi saksi
kau bukan guru negeri,
kau bukan guru swasta,
kau adalah guru bangsa.
Kalau engkau mau,
kalau saja engkau mau memberikan yang terbaik,
dan hanya yang terbaik.
Kalau saja engkau mau,
memanusiakan manusia,
membudayakan bangsa,
mengindonesiakan nusantara,
satu generasi di tanganmu
seagung sebuah maha karya.
Satu besok menunggumu,
indah dari seribu kemarin.
Maha guru bangsa ini,
sekaranglah waktumu
melahirkan kembali
sebuah Indonesia Raya.

0 komentar:

Posting Komentar