Ahlan Wa sahlan di Catatan nir.. Semoga menginspirasi bagi yang menikmatinya ^_^ Salam embun

Selasa, 01 Mei 2012

FENOMENA ANAK JALANAN DI SOLO : ANTARA KEMISKINAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Kondisi krisis yang melanda dunia dewasa ini mempunyai dampak yang begitu hebat dalam berbagai sektor termasuk dalam sektor ekonomi, begitu pula dengan Indonesia yang terkena imbas dari krisis ekonomi ini. Fluktuasi nilai rupiah mempengaruhi harga barang yang tentunya akan berimbas pada penambahan biaya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga mereka. Jika kita lihat, banyak bangsa Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera menghadapi situasi yang pelik, situasi yang mau tidak mau mereka harus mencari pendapatan guna kelangsungan hidupnya. Bagaimana kelangsungan hidup bangsa Indonesia jika krisis ini tidak bisa diatasi? Bagaimana nasib masa depan bangsa khususnya generasi baru yakni anak-anak ke depannya jika krisis tetap tidak bisa dikendaikan? Krisis ekonomi ini dapat menimbulkan kemiskinan diantara keluarga-keluarga yang di bawah garis sejahtera dan tidak dapat memikul tanggungan hidupnya.
Dalam persoalan ekonomi, di sini orang tua banyak yang mempekerjakan anak-anak mereka di bawah umur, sehingga banyak anak yang terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, atau bahkan dengan rela atau inisiatif sendiri bekerja karena melihat kondisi keluarga yang sangat memprihatinkan karena faktor kemiskinan dan tekanan dari keluarga dengan menjadi anak jalanan. yang membuat mereka turun ke jalan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga sehingga memaksa mereka ikut bekerja. Dari data ILO menyebutkan secara rata-rata anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20%-25% kepada pendapatan keluarga. Bahkan ada yang menopang 75 % lebih pendapatan orang tua. Dalam data yang bersumber dari (www.korantempo.com 2007) menyatakan bahwa anak jalanan di Surakarata berjumlah 1.168 anak. Itu terjadi pada tahun 2007 yang sudah luar biasanya banyaknya akan tetapi pada tahun 2008, Kota Surakarta sendiri sejak bulan Juli mentargetkan menjadi kota yang benar-benar layak bagi anak pada tahun 2016. Akan tetapi hal itu sangat tidak berimbang karena semakin tahun jumlah anak jalanan tidak mengalami penurunan tetapi terus meningkat. Fenomena anak jalanan di Solo berdasarkan Catatan Dinas Sosial terdapat 38 tempat mangkal anak jalanan di seluruh Surakarta, yaitu diantaranya: Lampu merah Panggung, Perempatan lampu merah Sekarpace, Taman Jurug, kampus UNS, Bis Kota, Perempatan Lampu merah Ngapeman, Pasar Kembang, Depan Kantor Pos besar, Terminal Tirtonadi, dll merupakan salah satu masalah sosial yang marak dalam kehidupan ini karena adanya anak jalanan menimbulkan keamanan, ketertiban di jalan yang terganggu dan dapat merugikan pengguna jalan. Lebih parahnya anak jalanan merupakan posisi yang empuk dan rentan terhadap kekerasaan, kehidupan di jalan membuat banyak anak yang mengalami kekerasan, kriminalitas.
Di samping mereka menjadi anak jalanan lantaran kehidupan keluarganya dan masih mempunyai keluarga, adapula anak jalanan yang memang tidak mempunyai keluarga dan tinggal di jalanan dengan rutinitas sehari-hari di jalan. Jika anak masih mempunyai keluarga dan maka keluargalah yang menjadi tanggung jawab untuk melindungi anak-anaknya dari penjahat jalanan. Banyak kita temui anak yang masih punya keluarga dan yang tinggal dijalanan itu biasanya keluarga tersebut mempunyai ekonomi yang rendah, sehingga anak pun kurang ada pengertian dari orang tuanya. Lantas bagaimana dengan anak yang sudah tidak tinggal bersama keluarganya? mereka juga diawasi oleh orang yang mempunyai kekuasaan wilayah. Dan mereka harus menyetorkan sebagian uangnya untuk orang yang memegang kekuasaan itu, dan orang tersebut bisa disebut preman atau boss, jika tidak, preman akan melakukan kekerasan kepada anak. Sehingga mereka bekerja di jalanan dengan paksaan dan ancaman dengan menjadi pengamen, pengemis, pedagang asongan, penyemir sepatu, atau mungkin menjadi pencuri hingga pekerjaan yang sangat membahayakan lainnya dan kesemuanya akan bermuara kepada preman tadi. Sungguh sangat mengenaskan nasib anak jalanan yang hidupnya dikuasai dengan peluk ancaman dan ketidaktenangan. Kondisi anak yang bekerja di jalan sangat memprihatinkan baik dari segi fisik atau psikis. Anak yang belum berumur pun seperti balita dan batita diikutkan orang tuanya untuk pemanis dalam mengemis atau mengamen, orang tuanya pasti juga berfikir dengan membawa balita pasti akan mendapat perhatian dari para pengguna jalan agar diberi uang dengan dalih akan berhasil. Bahkan orang tua mempekerjakan anaknya yang masih di bawah umur dan mereka menunggu anak-anaknya dipinggir jalan dan mengawasinya dari jarak jauh agar anaknya saja yang bekerja. Orang tua tersebut melakukan hal itu oleh kondisi kemiskinan dan ketidakpunyaan pekerjaan dan penghasilan secara tetap. Orang tua pada hakekatnya tidak menginginkan anaknya menjadi anak jalanan, tetapi karena kondisinya seperti itu, anak pun menjadi korban dalam urusan keluarganya dengan mepekerjakan dalam kehidupan jalanan bahkan jalanan yang liar itu menjadi teman akrab bagi anak. Sebenarnya orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya mengenyam pendidikan tinggi menjadi sukses? Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya sukses? Jawabnya TIDAK ADA, kecuali memang orang tua yang tidak punya hati dan tidak mempunyai rasa peduli serta perhatian kepada anaknya.
Hal itu terjadi ada beberapa faktor, kita bisa melihat dari sisi sosio kultural yang mana kehidupan sekitarnya merupakan lingkungan yang tidak mendukung bahkan banyak yang menjadi anak jalanan, selain itu faktor dalam diri keluarga yang memang tidak mengenyam pendidikan tinggi serta faktor ekonomi yang terhimpit sulitnya keuangan dan perekonomian keluarga, sehingga banyak anak menjadi pekerja dan anak jalanan, bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan tinggal di jalanaan itu semua juga bisa disebabkan dari faktor itu tadi ditambah tidak ada orang yang memperdulikan mereka. Dalam penelitian Sosiologi dosen UNS, Drs. Argyo Demartoto, M.Si tentang anak bekerja di sektor informal di Surakarata menyebutkan bahwa Pada umumnya mereka mempunyai pekerjaan yang tidak tetap kadang mereka mengamen, berdagang asongan, menjual koran dan kadang ada pula yang menganggur saja. Aktifitas anak jalanan berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan mereka. Mereka yang berdagang asongan umumnya mempunyai jam kerja yang teratur, dari pagi hingga sore. Mereka yang mengamen umumnya mempunyai jam kerja yang tidak menentu, kadang siang, pagi atau malam hari. Sedangkan yang berstatus ciblek mereka umumnya mempunyai jam kerja malam hari
Lantas siapa yang harus menyikapi banyaknya anak jalanan ini? Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 telah mengaturnya "…..fakir miskin dan anak terlantar harus dipelihara oleh Negara…" telah jelas tergambar dalam UUD 1945 yang dibuat oleh para pendiri bangsa ini, anak jalaan masuk dalam kategori anak terlantar dan itu semua harus dipelihara oleh Negara. Dalam (www.solopos.com/2010/) Pemkot Solo yang sering menggelar razia atau garukan tidak tepat. Cara seperti itu justru memicu perlawanan dari anak jalanan Setidaknya pemerintah harus mengerti dan memahami permasalahan anak jalanan . Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja Solo, sebuah lembaga yang mengurusi anak-anak dan anak jalanan: “...Satpol PP dalam menggaruk anak jalanan kurang memperhatikan aspek psikologis anak. Mereka asal menggaruk saja. Padahal, kadang anak trauma akan hal itu. Kami juga yang bertugas mendampingi mereka...” . Pemkot yang sering melakukan garukan atau penertiban anak jalanan, sebenarnya anak jalanan itu baik, mau diajak bicara, bahkan berharap agar Pemkot memperhatikannya. Nah, kurangnya perhatian dari Pemkot Solo yang tidak representatif menjadikan anak jalanan menjadi pekerja anak jalanan bahkan putusnya pendidikan yang seharusnya mereka enyam ketika kecil ini. Pemerintah daerah merupakan elemen utama yang seharusnya mampu menjadi penggerak penanganan terhadap program pengentasan anak jalanan. Mengingat begitu pentingnya nasib anak jalanan yang berstatus sebagai anak-anak, maka sudah sepatutnya pemerintah mengatur permasalahan anak secara khusus di dalam suatu Undang-undang tertentu. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang mana anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun masih mendapat perlindungan dari pemerintah, tidak boleh melakukan hal yang menyimpang dari yang selayaknya anak masih dalam perlindungan. Anak jalanan masuk dalam kategori anak-anak apabila mereka masih berumur di bawah 18 tahun. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Begitu pun anak jalanan berhak mendapat kesemuanya itu demi generasi yang lebih baik mengingat anak adalah aset berharga bangsa.
Dari penjabaran di atas, apakah benar fenomena anak jalanan merupakan dampak dari kemiskinan dan sesuaikah upaya pemerintah kota Surakarta berdasarkan pasal 34 UUD 1945 serta UU tentang perlindungan anak??

* Berpartisipasi nulis fair's UNS
(belum bagus) he

1 komentar:

  1. maaf mau tanya, saya kan mau melakukan uji validitas di kota solo tentang anak jalanan. kira2 nanti suratnya harus saya tujukan ke siapa?
    saya cari2 dinsospora kok g ada. trus haruskah say juga ke kesbangpolinmas terlebih dahulu.
    mohon bantuannya, terimakasih

    BalasHapus