Ahlan Wa sahlan di Catatan nir.. Semoga menginspirasi bagi yang menikmatinya ^_^ Salam embun

Jumat, 29 Agustus 2014

Membanggakan Anak, Oh, No !!




 
Biasa, sederhana, ringan. Begitu tulisan ini, hanya sekedar berbagi inspirasi dan opini.
Mulai zaman dulu sampai sekarang fenomena membanggakan anak masih tetap ada dan mungkin tak akan pernah berakhir. Biasanya dari kalangan wanita, si ibu yang kerap membanggakan anaknya kepada orang lain, tapi saya sebagai wanita sendiri sangat risih ketika ada orang seperti itu, saya tidak suka!
“Bu anak saya yang nomer 3 itu lho bu sekarang udah jadi orang, mapan, bisa setiap bulan mengirim uang, bahkan sebentar lagi dia akan terbang ke Kairo, pokoknya dia anak emas saya bu.”
“Tau gak bu, anak saya dari kecil saja sudah pintar, apalagi sekarang dia tambah pintar dan disukai oleh guru-gurunya”
“Anakku selalu ikut lomba-lomba dan menang semua, tau gak bu…uuhhh hadiahnya banyak banget, saya bangga sama dia meskipun saya gak pernah ngajarin dia tapi dia bisa sendiri, senengnyaaa buibu”.
“Sekarang si Fulan sudah punya rumah sendiri, 500 juta bu, buat bangun rumah. Itu uangnya sendiri gak minta ke saya dan sudah beli mobil, hebat memang!”
Mungkin contoh di atas adalah gambaran seorang ibu yang sangat senang terhadap anaknya yang berhasil, Meskipun membanggakan anak awalnya merupakan tanda syukur kita terhadap karunia Allah, akan tetapi ada beberapa dampak yang harus kita waspadai manakala berbicara tentang hal ini. Mengingat akan penyebab turunnya ayat 103 surat Ali Imran yaitu sikap bangga-membanggakan antar kabilah yang akhirnya nyaris memicu perkelahian antar sahabat Anshar. Belajar dari peristiwa ini, alangkah baiknya jika kita menghindari sikap bangga-membanggakan dan ketahuilah rasa senang bisa menimbulkan rasa bangga, ujub terhadap dirinya, dan sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak baik serta dapat menimbulkan dosa. Senang boleh, sebatas itu, tapi jangan pernah sampai membanggakan anak ke orang lain, cukup di simpan di hati saja sebagai wujud kelegaan orang tua terhadap anak-anaknya.
Teringat segar, sedari kecil saya tidak pernah diajarkan untuk membanggakan diri sendiri oleh orang tua, suatu contoh saya juara 1 dalam sebuah kompetisi (hanya bercerita bukan membanggakan), saya bawa pulang piala dan saya kabarkan pada orangtua, “Bapak, Ibu Alhamdulillah saya menang, ini doa kalian!”. “Alhamdulillah... selamat, berjuang lagi jangan berhenti, nduk!”. Whaat!!! Itu saja jawaban mereka, ah padahal niat hati ingin rasanya dipuji, ingin dibanggakan, ini lho, saya bisa memenangkannya. Hmmm……
Suatu ketika saya menanyakan ke ibu saya, “Bu, kenapa kalau saya berhasil dalam hal apapun ibu dan bapak kok kelihatannya tidak pernah bangga terhadap saya?”. Ibu saya menjawab, “Bangga itu bahaya sayang, nanti ndak terkesan ada perasaan sombong, tapi ibu dan bapak senang, sebatas itu. Kami takut jika membanggakan kamu dan sesuatu, akan berujung tak baik, apalagi bercerita ke orang lain. Kami senang, hati ini lega terhadap ukiran keberhasilanmu dan cukup dalam doa kami menumpahkan segala perasaan ini.” Huukz…. Bapak ibuk love u :*
Sebagai pelajaran buat saya yang sudah menjadi ibu, lebih berhati-hati dalam memaknai sesuatu, sesungguhnya anak, rezeki semua ini hanyalah titipan sementara, suatu saat akan diambil oleh-Nya, dan jangan suka membangga-banggakan terhadapnya karena ini tak lain dan tak bukan juga ada campur tangan Allah, anak hebat berkat Allah, bukan dirinya sendiri, jadi kita harus tetap bersyukur karena anak adalah anugerah Allah, terdapat campur tangan Allah di setiap keberhasilannya. So, jangan pernah jadi orang tua yang suka membangga-banggakan anaknya, Woles, biasa aja keles!he
           
            Makamhaji, 30 Agustus’14, 11:30

Senin, 13 Januari 2014

Bersamanya

“Then which of the favours of Your Lord will you deny?” (Q.S. Ar-Rahmaan)

Subhanalloh wal Alhamdulillah, wa Laa ilaha illallah, Allohu akbar… Hari ini bersamanya, semenjak 7 Maret 2013 mengikat janji suci dalam pernikahan. Awalnya saya tidak menyangka semua ini terjadi dan tak ada bayangan bagaimana yang musti saya jalani dan dengan siapa saya menjalaninya kelak? Iya, ini bagian dari takdir yang harus kita jalani. Sebagai muslim, ketaatan dan pasrah saja sama Allah. 

Alhamdulillah, kini bersamanya menjalankan separuh agama dan berusaha menyempurnakan separuh yang lain untuk senantiasa mendekatkan diri pada Yang Maha Cinta. 
Bersamanya, semoga selalu berkah dan senantiasa dalam jalan-Nya sisa usia ini untuk terus mengabdi, bersamanya mengarungi bahtera penuh kebahagiaan maupun ujian karena semua ini adalah amanah istimewa dari-Nya.

Bersamanya, kini kami telah menanti datangnya amanah besar untuk kami jadikan khalifah penebar syiar dien yang semoga selalu di jalan-Mu, mujahid kecilku. Semoga Alloh menguatkan kami.

Suamiku, Dwi ApriyantoI love u …







*|Taman Dramaga Permai, Bogor|Senin, 13 Jan 2014|21:15|