Biasa, sederhana, ringan. Begitu tulisan ini, hanya
sekedar berbagi inspirasi dan opini.
Mulai zaman dulu sampai sekarang fenomena
membanggakan anak masih tetap ada dan mungkin tak akan pernah berakhir.
Biasanya dari kalangan wanita, si ibu yang kerap membanggakan anaknya kepada
orang lain, tapi saya sebagai wanita sendiri sangat risih ketika ada orang
seperti itu, saya tidak suka!
“Bu
anak saya yang nomer 3 itu lho bu sekarang udah jadi orang, mapan, bisa setiap
bulan mengirim uang, bahkan sebentar lagi dia akan terbang ke Kairo, pokoknya
dia anak emas saya bu.”
“Tau
gak bu, anak saya dari kecil saja sudah pintar, apalagi sekarang dia tambah
pintar dan disukai oleh guru-gurunya”
“Anakku
selalu ikut lomba-lomba dan menang semua, tau gak bu…uuhhh hadiahnya banyak
banget, saya bangga sama dia meskipun saya gak pernah ngajarin dia tapi dia
bisa sendiri, senengnyaaa buibu”.
“Sekarang
si Fulan sudah punya rumah sendiri, 500 juta bu, buat bangun rumah. Itu uangnya
sendiri gak minta ke saya dan sudah beli mobil, hebat memang!”
Mungkin contoh di atas adalah gambaran seorang ibu
yang sangat senang terhadap anaknya yang berhasil, Meskipun
membanggakan anak awalnya merupakan tanda syukur kita terhadap karunia Allah,
akan tetapi ada beberapa dampak yang harus kita waspadai manakala berbicara
tentang hal ini. Mengingat akan penyebab turunnya ayat 103
surat Ali Imran yaitu sikap bangga-membanggakan antar kabilah yang akhirnya
nyaris memicu perkelahian antar sahabat Anshar. Belajar dari peristiwa ini,
alangkah baiknya jika kita menghindari sikap bangga-membanggakan dan ketahuilah rasa senang bisa menimbulkan rasa bangga, ujub terhadap
dirinya, dan sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak baik serta dapat
menimbulkan dosa. Senang boleh, sebatas itu, tapi jangan pernah sampai
membanggakan anak ke orang lain, cukup di simpan di hati saja sebagai wujud
kelegaan orang tua terhadap anak-anaknya.
Teringat segar, sedari kecil saya tidak pernah
diajarkan untuk membanggakan diri sendiri oleh orang tua, suatu contoh saya
juara 1 dalam sebuah kompetisi (hanya
bercerita bukan membanggakan), saya bawa pulang piala dan saya kabarkan
pada orangtua, “Bapak, Ibu Alhamdulillah
saya menang, ini doa kalian!”. “Alhamdulillah... selamat, berjuang lagi jangan
berhenti, nduk!”. Whaat!!! Itu saja jawaban mereka, ah padahal niat hati
ingin rasanya dipuji, ingin dibanggakan, ini
lho, saya bisa memenangkannya. Hmmm……
Suatu ketika saya menanyakan ke ibu saya, “Bu, kenapa kalau saya berhasil dalam hal
apapun ibu dan bapak kok kelihatannya tidak pernah bangga terhadap saya?”. Ibu
saya menjawab, “Bangga itu bahaya sayang,
nanti ndak terkesan ada perasaan sombong, tapi ibu dan bapak senang, sebatas
itu. Kami takut jika membanggakan kamu dan sesuatu, akan berujung tak baik,
apalagi bercerita ke orang lain. Kami senang, hati ini lega terhadap ukiran
keberhasilanmu dan cukup dalam doa kami menumpahkan segala perasaan ini.”
Huukz…. Bapak ibuk love u :*
Sebagai pelajaran buat saya yang sudah menjadi ibu,
lebih berhati-hati dalam memaknai sesuatu, sesungguhnya anak, rezeki semua ini
hanyalah titipan sementara, suatu saat akan diambil oleh-Nya, dan jangan suka
membangga-banggakan terhadapnya karena ini tak lain dan tak bukan juga ada
campur tangan Allah, anak hebat berkat Allah, bukan dirinya sendiri, jadi kita
harus tetap bersyukur karena anak adalah anugerah Allah, terdapat campur tangan
Allah di setiap keberhasilannya. So,
jangan pernah jadi orang tua yang suka membangga-banggakan anaknya, Woles, biasa aja keles!he
Makamhaji, 30
Agustus’14, 11:30