Ahlan Wa sahlan di Catatan nir.. Semoga menginspirasi bagi yang menikmatinya ^_^ Salam embun

Rabu, 07 Oktober 2015

LONG DISTANCE MARRIAGE-SHIP (LDM an)



Aku bahagia ku dipertemukan belahan jiwaku
Tuhan persatukan kami untuk slamanya hingga bahagia di Surga-Mu
Pegang tanganku, tataplah mataku
Engkau ditakdirkan untukku
*Nasyid

Sejak awal menikah tepatnya 07 maret 2013, kami memang telah memutuskan untuk siap berpisah. Lhoh? Kok malah pisah? Iya pisah hihi. Mau tak mau itu takdir yang harus kami jalani, kami berpisah berlainan daerah, suami saat itu sedang melanjutkan studi lanjutnya di Kota Bogor dan saya harus menyelesaikan kuliah saya di Solo.

Kapan ya ketemunya?
Yahh berat memang, tapi kami tetap mempunyai prioritas untuk bertemu beberapa minggu atau bulan sekali demi menjaga hubungan pernikahan yang harmonis. Biasanya suami yang mengunjungi saya bahkan suami rela mengunjungi hanya beberapa jam saja, iya karena sabtu siang menjelang sore sampai dan esok minggunya harus kembali lagi. Pernah juga saya yang mengunjunginya dengan modal nekat sendirian waktu hamil muda, yah mungkin terlihat lebay dikit-lah. Tapi anehnya saya merasa tidak capek, tidak berat, ringan seperti perjalanan dekat saja begitupun juga apa yang dirasakan suami sama. Mungkin karena merasa bahagia kali ya semuanya jadi enteng teng teng hihi… karena istri mana sih yang ingin berjauh-jauhan dengan suami?he

Sampai sekarang pun di usia pernikahan kita dua tahun lebih kami masih mengalami LDM an. Sekarang berbeda karena sudah ada mujahidah kecil kami, mau tak mau si putri kecil harus berpisah dengan ayahnya. Yah, demi kebaikan bersama insya Allah. Suami harus menyelesaian tugas akhirnya dan pekerjaan di kantornya sedangkan di sini saya harus tetap berjuang dan ikhtiar untuk kesembuhan dan kesehatan mujahidah kami.

Tak pernah berhenti kami selalu berkomunikasi baik via whatsapp, sms, line, bbm, messenger, bahkan email atau fb. Kalau pulsa habis pinjem hp saudara ataupun orangtua hihi. Komunikasi kami memang bisa dibilang agak lebay, tanya kabar, sedang apa nih mas? Sedang buka leptop, he. Makannya lele lagi? kamu ga tidur kenapa yunk? Beli buah aja yunk. Nih sedang bawa bolpen, nih sedang menyapu. Hihi….. tapi itu bagi kami suatu sarana untuk saling menjaga kedekatan kami dan walaupun sepele pertanyaan atau jawaban itu sangat penting bagi kami. Tak membosankan sama sekali karena hal ini dilakukan dengan pasangan yang halal. Dijamin rasanya lebih bebas dan leluasa dalam berkomunikasi. Tak hanya itu juga suami selalu dan sering menasehati apa yg seharusnya saya lakukan, apa yang selayaknya saya berikan untuk kebaikan diri dan banyak orang.

Hmm… Banyak teman suami yang juga LDM an dengan istri maupun anaknya, begitu juga teman2 saya juga LDM an dengan pasangannya. Apakah selamanya kita akan seperti ini? LDM an terus? Masak misal nikahnya uda beberapa tahun ketemunya bisa dihitung dalam hitungan bulan? Kan ga asyik yaa he… kami sepakat menjawab, Insya allah tidak, kami akan berusaha untuk tidak LDM an terus dan pasrah semua ini atas kehendak Allah juga selalu berdoa untuk kembali didekatkan dan kembali berbagi aamiin.

Tapi kami selalu berusaha juga untuk bersyukur banyak di luar sana yang juga mengalami LDM-an bahkan yang hidup bersama yang jauh lebih memprihatinkan dengan segala problematikanya. Kita sebagai hamba hanya bisa menjalani ini dengan semaksimal mungkin penuh kebaikan. Kita selalu berusaha dan menunggu apa yang dikendaki Allah selanjutnya, semoga kita segera dipersatukan kembali untuk mengisi dan berbagi dengan penuh kemanfaatan. Putri kami juga segera pulih sembuh dan sehat. Semoga segera bersama dan sehat semua, aamiin.

Makamhaji, Rabu 7 OKt 15
10;01pm

Sabtu, 02 Mei 2015

HAFSHAH ABDILLAH

Sabtu, 3 Mei 2014. Teriring syukur pada-Mu ya Rabb, Alhamdulillah mujahidah kecil kami bisa merasakan udara dunia setelah berada dalam rahim kurang lebih 9 bulan 10 hari. Bahagia. Subhanalloh. 

Sesar keputusan yang kami ambil berdasarkan anjuran dokter secara medis, ya ini memang takdir yang harus saya jalani meskipun banyak yang menginginkan lahir secara normal. 

Pukul 14.06 wib, Alhamdulillah seorang putri telah berhasil dikeluarkan dari rahim saya, lalu dibawalah oleh dokter ke ruang bayi dan suami saya menyusulnya. Sementara saya masih harus berada di ruang operasi agar kembali sadar dari pengaruh obat bius, dan ibu saya menunggu dari luar. 

Sakit memang, saya tidak bisa bernafas, sekujur tubuh tak berasa, hanya angkat tangan yang bisa saya lakukan pertanda saya butuh pertolongan sehingga dokter akan mendekat, hanya pasrah (Allah, Allah, Allah aku berusaha ikhlas atas skenario ini)

Ba’da Isya’ yang bahagia penuh haru biru, saya melihat putriku untuk pertama kali, saya yang belum sadar betul seketika menjadi sadar dan tak merasakan sakit akibat sesar, saya menciumnya dan memulai untuk menyusuinya, Alhamdulillah RS ini mendukung IDM sehingga bagaimanapun caranya anak lahir harus diberi asi tidak dengan sufor. Begitu lucu menggemaskan putri mungil ini. 

Selama di RS kami memang sengaja tidak menitipkan putri kami di ruang bayi, seperti kebanyakan orangtua lainnya yang menitipkannya, kami meminta agar putri saya tidur dengan saya sehingga kapanpun ia membutuhkan saya selalu ada di sampingnya, atau dia ingin merasakan kasih sayang ayahnya juga tak jauh ataupun dia ingin merasakan ikhlasnya neneknya juga dekat. 

Tepat 7 hari, mencukur rambut, membagikan daging aqiqah, memberi nama, dan mujahidah kami beri nama “HAFSHAH ABDILLAH” dengan panggilan Hafshoh, lhoh kok beda antara tulisan dan panggilan?he. Setelah ditransliterasikan dari Arab ke Indonesia, huruf “Shad” dalam kata “Shah” ketika dibaca dalam versi arab menjadi “Shod” sehingga dibaca “Shoh” iya Hafshoh, he he… 

Kami memberi nama ini dengan harapan putri kami menjadi hamba Allah seperti Hafshoh putri Umar bin Khattab yang juga menjadi istri dari Rasululloh SAW yang menjaga mushaf Alqur’an pertama kali di zaman khalifah Abu Bakar Ash Shidiq, serta Hafshoh yang menjaga ibadah, shalat malamnya, pandai dalam hal sastra, bahasa, dan keilmuan. Aamiin. 

Hafshohku sayang, tumbuh sehat, cerdas, menjadi pribadi sholehah ya nak, doakan ayah dan bundamu senantiasa dapat mendidikmu dan adik2mu kelak (he he) menjadi insan sholehah nggih! Bunda teringat sayang ketika engkau masih dalam rahim, bunda bawa engkau memperjuangkan skripsi, ketika sidang ujian, mengurus wisuda, pulang pergi Bogor-Solo untuk bertemu ayahmu, he, pergi ke luar kota yang lainnya juga selalu bunda ajak, he.. Dan hadirnya amanah Allah ini berupa engkau semata-mata untuk membangun keturunan untuk  peradaban generasi Islami. Memang benar Rasulullah SAW mencintai umat yang banyak yang tak lain halnya sebagai generasi penerus di muka bumi ini dalam menebarkan syiar Islam. Sayang Hafshoh ..


Makamhaji, 8;58 pm
2 Mei 2015

Sabtu, 24 Januari 2015

Ini Pilihanku..... !!



Sebenarnya, konsiensiku mengatakan kalau ada pendidikan setinggi-tingginya akan kujalani. Hmm… citaku sedari dulu menjadi dosen dan setelah s1 akan langsung s2. Aku lebih suka belajar, berpetualang pendidikan daripada bekerja, he. Entahlah aku suka mendengarkan dosen menyampaikan ilmu, menjelajah ilmu-ilmu baru. Iya, aku ingin lanjut s2.

Banyak yang mendukungku termasuk dosenku agar kelak aku s2 dan bisa mengajar di almamater. Tahun kemarin sebenarnya aku ingin langsung s2 tapi idealisme terpatahkan oleh realisme, aku hamil dan melahirkan juga di tahun itu. Ya maklum takdir mengatakan aku harus menikah sebelum lulus.  Tapi aku enjoy dan menikmatinya. Ini hidup, guys!! Jalani….

Dengan melihat suami dan putriku kala mereka bahagia dan bersedih, aku ingin sekali tetap berada bersamanya, menemainya dalam setiap moment. Melihat betapa bertanggungjawabnya suami kepada keluarga membuatku tak mau kehilangan waktu untuk mengabdinya serta tertawa gurih dari putriku membuatku semakin berselera untuk selalu mendidiknya. Tapi aku tidak akan pernah membuang dan mengubur cita-citaku, biarlah keinginanku lanjut study menjadi sebuah motivasi agar selalu tak pernah berhenti belajar, belajar, dan belajar. Hmmm…. 

Saatnya aku menentukan pilihan diantara bayang-bayang lanjut kuliah dan keluarga kecilku. Keinginan lanjut kuliah ga bisa hilang dari benakku sementara aku juga harus mengurus suami dan anak, yang kebetulan juga putriku dalam masa pengobatan setelah sekian lama sakit. Iya dia butuh aku seorang ibu yang mampu menghangatkan dan menjaganya. Belum lagi LDR an yang harus kami jalani, membutuhkan waktu untuk saling mengatur antar diri. 

Kini pun kami ingin sekali mengakhiri hubungan jarak jauh ini juga, kami ingin sekali membangun sebuah keluarga yang kami damba, berkumpul bersama ahh sampai pikiranku tak sampai, maa syaa Allah karena kami sudah ingin sekali bersama,

Yaa, ini pilihan, kami ingin mengakhiri ldr an ini dan pilihan aku ingin menjadi ibu rumah tangga yang profesional dan entrepreneur bersama suami kelak. Mungkin ini pilihan yang tepat. Wallohu’alam….

Makamhaji, 24 Jan 15. 8;05 pm

Jumat, 29 Agustus 2014

Membanggakan Anak, Oh, No !!




 
Biasa, sederhana, ringan. Begitu tulisan ini, hanya sekedar berbagi inspirasi dan opini.
Mulai zaman dulu sampai sekarang fenomena membanggakan anak masih tetap ada dan mungkin tak akan pernah berakhir. Biasanya dari kalangan wanita, si ibu yang kerap membanggakan anaknya kepada orang lain, tapi saya sebagai wanita sendiri sangat risih ketika ada orang seperti itu, saya tidak suka!
“Bu anak saya yang nomer 3 itu lho bu sekarang udah jadi orang, mapan, bisa setiap bulan mengirim uang, bahkan sebentar lagi dia akan terbang ke Kairo, pokoknya dia anak emas saya bu.”
“Tau gak bu, anak saya dari kecil saja sudah pintar, apalagi sekarang dia tambah pintar dan disukai oleh guru-gurunya”
“Anakku selalu ikut lomba-lomba dan menang semua, tau gak bu…uuhhh hadiahnya banyak banget, saya bangga sama dia meskipun saya gak pernah ngajarin dia tapi dia bisa sendiri, senengnyaaa buibu”.
“Sekarang si Fulan sudah punya rumah sendiri, 500 juta bu, buat bangun rumah. Itu uangnya sendiri gak minta ke saya dan sudah beli mobil, hebat memang!”
Mungkin contoh di atas adalah gambaran seorang ibu yang sangat senang terhadap anaknya yang berhasil, Meskipun membanggakan anak awalnya merupakan tanda syukur kita terhadap karunia Allah, akan tetapi ada beberapa dampak yang harus kita waspadai manakala berbicara tentang hal ini. Mengingat akan penyebab turunnya ayat 103 surat Ali Imran yaitu sikap bangga-membanggakan antar kabilah yang akhirnya nyaris memicu perkelahian antar sahabat Anshar. Belajar dari peristiwa ini, alangkah baiknya jika kita menghindari sikap bangga-membanggakan dan ketahuilah rasa senang bisa menimbulkan rasa bangga, ujub terhadap dirinya, dan sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak baik serta dapat menimbulkan dosa. Senang boleh, sebatas itu, tapi jangan pernah sampai membanggakan anak ke orang lain, cukup di simpan di hati saja sebagai wujud kelegaan orang tua terhadap anak-anaknya.
Teringat segar, sedari kecil saya tidak pernah diajarkan untuk membanggakan diri sendiri oleh orang tua, suatu contoh saya juara 1 dalam sebuah kompetisi (hanya bercerita bukan membanggakan), saya bawa pulang piala dan saya kabarkan pada orangtua, “Bapak, Ibu Alhamdulillah saya menang, ini doa kalian!”. “Alhamdulillah... selamat, berjuang lagi jangan berhenti, nduk!”. Whaat!!! Itu saja jawaban mereka, ah padahal niat hati ingin rasanya dipuji, ingin dibanggakan, ini lho, saya bisa memenangkannya. Hmmm……
Suatu ketika saya menanyakan ke ibu saya, “Bu, kenapa kalau saya berhasil dalam hal apapun ibu dan bapak kok kelihatannya tidak pernah bangga terhadap saya?”. Ibu saya menjawab, “Bangga itu bahaya sayang, nanti ndak terkesan ada perasaan sombong, tapi ibu dan bapak senang, sebatas itu. Kami takut jika membanggakan kamu dan sesuatu, akan berujung tak baik, apalagi bercerita ke orang lain. Kami senang, hati ini lega terhadap ukiran keberhasilanmu dan cukup dalam doa kami menumpahkan segala perasaan ini.” Huukz…. Bapak ibuk love u :*
Sebagai pelajaran buat saya yang sudah menjadi ibu, lebih berhati-hati dalam memaknai sesuatu, sesungguhnya anak, rezeki semua ini hanyalah titipan sementara, suatu saat akan diambil oleh-Nya, dan jangan suka membangga-banggakan terhadapnya karena ini tak lain dan tak bukan juga ada campur tangan Allah, anak hebat berkat Allah, bukan dirinya sendiri, jadi kita harus tetap bersyukur karena anak adalah anugerah Allah, terdapat campur tangan Allah di setiap keberhasilannya. So, jangan pernah jadi orang tua yang suka membangga-banggakan anaknya, Woles, biasa aja keles!he
           
            Makamhaji, 30 Agustus’14, 11:30